Blog

Deinfluencer dan Ancaman bagi Ladang Influencer

Beberapa waktu lalu kata deinfluencer mulai tidak asing di telinga. Tetapi apa itu deinfluencer? Mungkin ada yang belum tahu? Karena meski sudah terdengar dari tahun lalu. Deinfluencer masih belum terlalu banyak yang mengetahuinya.

Pengertian antara influencer dan deinfluencer

Deinfluencer ini memang kebalikan dari influencer yang notabene berarti adalah pemberi pengaruh. Sementara deinfluencer adalah sebuah tindakan dimana seseorang sudah tidak mau menjadikan influencer sebagai acuannya dalam memilih dan menentukan apa yang dibelinya. Kurang lebih seperti itu.

Fenomena apa yang membuat deinfluencer bisa muncul?

Bisa jadi fenomena ini terjadi karena banyak influencer yang memberikan reviewnya secara tidak tepat. Dalam artian melebihkan sesuatu karena sudah dibayar.

Saya rasa fenomena semacam ini bisa membuka mata para influencer yang melebihkan review (tidak semua) mulai mengontrol kembali tindakannya. Apakah ini akan merugikan para follower atau orang yang percaya pada rekomendasinya atau tidak. Meski diminta brand atau agencinya. Sudah sepatutnya seorang influencer tetap berhati-hati saat mereview.

Ini yang saya lakukan ketika mereview produk dan jasa

Masih terekam jelas di ingatan, saya memilih dan membeli sesuatu karena rekomendasi dari blogger, buzzer, dan influencer. Saat itu masih bisa dipertimbangkan. Tepatnya tahun 2016 ke bawah. Maksudnya? Jadi apa yang saya beli memang benar-benar bagus dan awet. Berbeda dengan sekarang yang terlalu melebih-lebihkan. Sehingga hasilnya tidak sesuai harapan.

Iya, saya tahu. Saya sendiri juga pernah beberapa kali dibayar terbilang mahal saat itu baik postingan blog, konten media sosial, dll. Untuk apa? Tentu saja mereview produk, mendatangi dan memberitahukan sebuah acara, dll. Pernah juga jadi buzzer. Tentu saja buzzer ini ada banyak ya jenisnya. Nah, saya termasuk teknologi, parenting, dll. Itu diluar politik ya. Saya tidak akan pernah menerima tawaran menjadi buzzer politik. Sementara ada beberapa kenalan yang menerima dua sampai tiga kandidat sekaligus sambil tertawa riang. Tanpa memikirkan apa yang bisa diakibatkan dari keputusannya menerima menjadi buzzer untuk dua sampai tiga kandidat.

Saya memang pernah jadi reviewer berbayar. Juga jadi buzzer untuk produk parenting, gadget, provider, dll. Tetapi ada yang saya perhatikan adalah kualitas dari review. Bukan mengada-ada. Melebih-lebihkan. Fokus ke produk atau jasa. Apa kelebihan dan kekurangannya (tanpa perlu menjatuhkan) produk atau jasa tersebut.

Sebagai seseorang yang pernah mengurus banyak buzzer pun. Saya menetapkan beberapa aturan. Mereka harus mencoba sendiri produknya. Menggali mana yang memang menjadi keunggulannya. Harus dibuat se-soft mungkin agar tidak terlalu menjual. Tulisannya harus seperti bercerita, dan masih banyak lagi. Jadi, tak semata-mata review dengan garis besar yang sudah ditentukan. Jadinya proyek itu terbilang berhasil.

Jujur, saya sekarang memilih tidak menggunakan influencer untuk mengetahui produk atau jasa yang tepat dan awet. Saya lebih menggunakan feeling dan berhasil. Ada beberapa review dari pengamatan dan pengalaman selama saya memakainya. Hasilnya juga saya sampaikan. Apakah berbayar? Tidak. Saya tulis di blog pribadi. Akibatnya apa? Kunjungan untuk tulisan tersebut terbilang sangat tinggi.

Apakah saya juga melakukan hal yang sama pada konten berbayar? Ya, sama. Tak ada bedanya. Bahkan saya dibebaskan dalam menulis artikelnya. Apalagi nominal tiap review saya juga lumayan banyak. Karena saya melakukan beberapa langkah. Untuk apa? Tentu saja untuk para pembaca atau penikmat konten saya yang sedang membutuhkan. Agar mereka tidak merasa menyesal telah percaya pada apa yang saya bagi.

Lantas apakah ini akan membuat pekerjaan influencer menghilang? Saya rasa tidak. Tentu saja bagi mereka yang memang bersungguh-sungguh dalam mereview produk atau jasa yang sudah mereka sepakati. Bagi yang tidak melakukan hal sama. Kemungkinan netizen untuk mempercayainya akan semakin kecil. Entah kenapa trust issue ini merangsek ke segala lini kehidupan.

Sama halnya seperti saya pernah mencoba hasil review salah satu influencer yang menulis di blog. Produknya yang ditulis tidak sesuai dengan hasilnya. Sejak saat itu saya berpikir ulang untuk menggunakan rekomendasinya.

Bahkan untuk kuliner pun juga saya pernah mengalami hal yang sama. Kalau kamu jeli. Ada banyak konten yang mereview makanan dan ternyata tidak selezat yang dikatakan. Padahal kondisi perut sudah kosong. Jadi rasa kecewanya menumpuk. Belum lagi antriannya. Jadi, pilih yang pasti saja.

Kadang untuk kuliner saya lebih memilih menggunakan review dari gmaps bisnis kuliner tersebut. Kalau ada satu dua komentar yang menyelip tidak bagus. Saya akan memilih tidak datang. Daripada saya jadi korban selanjutnya. Terdengar kejam? Tidak juga. Urusan perut yang tidak terpuaskan memang begitu. Inginnya enak dan sepadan dengan harga.

Bagaimana dengan kamu? Apakah juga melakukan hal yang sama? Tulis di komen ya.

(Visited 18 times, 1 visits today)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *